Hubungan yang terjalin antara rakyat Propinsi Bengkulu dengan Inggeris sudah berjalan sejak lama, yakni sejak abad ke 17. Pada tahun 1682 Kompeni Belanda (VOC) mampu mengungguli the Honourable East India Company (EIC), khususnya setelah tercapai kesepakatan antara VOC dengan kerajaan Banten mengenai monopoli perdagangan rempah-rempah. Hal ini memaksa EIC keluar dari Jawa dan harus mencari tempat pangkalan baru yang secara politik dan militer dapat menguntungkan mereka dalam perdagangan rempah-rempah.
Pada awalnya mereka berkeinginan untuk mendirikan faktori dagang di Aceh, namun keinginan ini ditolak oleh Ratu Aceh Sultana Zaqiyat -ud-udin Inayat Shah. Penolakan ini membuat EIC berpaling ke wilayah lain yang bersedia untuk menerima mereka, yakni Pariaman dan Barus di Sumatera Barat. Keinginan kedua wilayah ini untuk menerima EIC didorong oleh kekuatiran terhadap kekuatan Belanda yang sangat agresif. Namun pada akhirnya pilihan EIC jatuh kepada Bengkulu, ada dua versi catatan sejarah yang menyebabkan terjadinya perubahan pilihan ini, yakni :

1. Menurut buku “Bencoolen : A History of the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra (1685 – 1825)”, yang ditulis oleh Alan Harfield (1995), perubahan ini disebabkan adanya surat permintaan dari para penguasa di Bengkulu yang mereka terima dua hari menjelang keberangkatan utusan EIC (Ord dan Cawley) dari Madras menuju Pariaman.

2. Menurut buku “Bengkulu dalam Sejarah”, yang ditulis oleh Firdaus Burhan (1988), perubahan ini disebabkan oleh kesalahan navigasi dalam pelayaran dari Madras menuju Pariaman dan adanya permintaan dari para penguasa Bengkulu setelah utusan EIC tersebut mendarat di Bengkulu.

Terlepas dari adanya perbedaan di atas, sejarah mencatat bahwa Inggeris (EIC) pada akhirnya bercokol di Bengkulu dan rakyat Bengkulu menerima kehadiran mereka. Setibanya mereka di Bengkulu pada tahun 1685, pihak Inggeris disambut oleh petinggi Bengkulu pada masa itu, yakni Orang Kaya Lela dan Patih Setia Raja Muda. Dalam beberapa pertemuan selanjutnya pihak Inggeris memperoleh izin untuk mendirikan faktori di Bengkulu dan menjalin hubungan dagang dengan para penguasa Bengkulu. Pangkalan pertama yang didirikan oleh Inggeris di Bengkulu adalah Fort York. Sejak saat itu Inggeris menamakan faktori dagang mereka di Bengkulu sebagai Garnizun EIC di Pantai Barat pulau Sumatera (the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra).
Kehadiran Inggeris di Bengkulu berlangsung selama 140 tahun, yaitu dari tahun 1685 sampai dengan bulan Maret 1825, ketika seluruh kekuatan Inggeris meninggalkan Bengkulu. Berakhirnya kehadiran Inggeris di Bengkulu adalah disebabkan adanya perjanjian antara Raja Inggeris dan Raja Belanda, yang ditanda-tangani pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian ini oleh pihak Inggeris disebut “the Anglo-Dutch Treaty of 1824", sedangkan pihak Belanda menyebutnya sebagai “Traktat London”. Perjanjian ini mengatur pertukaran kekuasaan Inggeris di Bengkulu dengan kekuasaan Belanda di Melaka dan Singapura (Singapura pada masa itu merupakan bagian dari kerajaan Melaka).

PEMBANGUNAN FORT MARLBOROUGH

Pada tahun 1714 kondisi Fort York menjadi kritis. Bangunan benteng dan barak-barak telah semakin rapuh dan air hujan secara terus-menerus membasahi ruangan-ruangan tempat tinggal para penghuni. Selain itu, kondisi bahan makanan yang dikonsumsi oleh tentara Inggeris sangat buruk sehingga disiplin para prajurit dan pegawai benteng menjadi turun. Berbagai macam penyakit, umumnya disentri dan malaria, telah menyebabkan sebagian besar prajurit garnizun tidak dapat menunaikan tugas mereka. Joseph Collet yang menjadi pimpinan Garnizun Bengkulu pada tahun 1712 menarik kesimpulan bahwa Fort York membutuhkan perbaikan-perbaikan besar dan lokasi benteng itu sebenarnya tidak tepat. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Februari 1712 Collet menulis surat kepada Dewan Direksi EIC yang mengusulkan agar membangun benteng baru di tempat yang disebut “Carrang” (orang Bengkulu menyebutnya Ujung Karang). Lokasi Carrang yang diusulkan oleh Collet terletak lebih kurang dua mil dari Fort York. Usul Collet untuk membangun benteng baru disetujui oleh Dewan Direktur EIC dan pembangunan benteng baru tersebut dimulai pada tahun 1714.
Benteng baru yang dibangun di Carrang diberi nama Marlborough. Nama ini dipilih oleh Joseph Collet untuk menghormati John Churchill, seorang komandan ternama Inggeris yang pernah memenangkan pertempuran di Blenheim (1704), Rammilies (1706), Oudenarde (1708) dan Malplaquet (1709). Atas jasa-jasanya ini John Churchill kemudian diberi gelar “Duke of Marlborough”. Benteng baru yang dibangun oleh Joseph Collet ini kemudian dikenal dengan nama “Fort Marlborough”. Pembangunan Fort Marlborough selesai seluruhnya pada tahun 1741.

PEMAKAMAN INGGERIS DAN MONUMEN THOMAS PARR

Selama 140 tahun berada di Bengkulu, orang-orang Inggeris banyak yang meninggal dunia. Kematian orang-orang Inggeris tersebut kebanyakan disebabkan oleh serangan penyakit, umumnya malaria dan disentri, dan tewas dalam konflik-konflik dengan rakyat Bengkulu. Orang-orang Inggeris yang meninggal di Bengkulu pada masa itu tercatat sebanyak 709 orang. Apabila diambil angka rata-rata maka selama 140 tahun 5 orang Inggeris yang meninggal setiap tahunnya. Sebagian dari orang-orang Inggeris tersebut dimakamkan di pemakaman Inggeris di Jitra, Bengkulu.
Di Bengkulu pada tahun 1808 dibangun sebuah monumen atau tugu peringatan bagi bangsa Inggeris dalam zaman kompeni dulu. Monumen ini disebut oleh orang-orang Bengkulu dengan istilah “Kuburan Bulek (kuburan Bulat)”. Nama sebenarnya dari Kuburan Bulek ini adalah Monumen Parr (Parr Monument). Monumen ini dibuat oleh Inggeris untuk mengenang pengalaman pahit bangsa Inggeris karena di tempat itu dikuburkan Residen Inggeris Thomas Parr, bersama-sama dengan seorang asistennya, yang terbunuh dalam satu insiden dengan rakyat Bengkulu pada malam tanggal 27 Desember 1807. Pembunuhan terhadap Thomas Parr ini disebabkan oleh akumulasi rasa tidak puas rakyat Bengkulu terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh penguasa Inggeris. Kebijaksanaan Parr yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pribumi, antara lain pemberlakuan tanam paksa kopi dan pengubahan yang besar dalam peradilan pribumi tanpa persetujuan dan tanpa meminta nasehat dari para Kepala Adat rakyat Bengkulu.

BUNGA RAFFLESIA ARNOLDI

Sir Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Gubernur Bengkulu pada tahun 1818. Dia tiba di Bengkulu pada bulan Maret 1818 didampingi oleh isterinya Lady Sophia Raffles dan seorang Kepala Adat Jawa Raden Rana Dipura. Dalam perjalanan dari Inggeris ke Bengkulu, Lady Sophia Raffles melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Charlotte Sophia Tanjung Segara Raffles. Ketika Raffles tiba di Bengkulu dia menemukan Bengkulu yang luluh lantak akibat gempa bumi, oleh karena itu kota Bengkulu disebut dengan istilah “Tanah Mati”. Namun setelah itu, Raffles bersama-sama dengan rakyat Bengkulu membangun dan membangkitkan kembali Kota Bengkulu dari puing-puing Tanah Mati.
Gubernur Raffles bertugas di Bengkulu selama 6 tahun, yaitu dari tahun 1818 sampai tahun 1824. Selama bertugas di Bengkulu Raffles banyak melakukan perjalanan ke daerah-daerah pedalaman. Dalam salah satu perjalanannya, Raffles dengan didampingi isteri dan Dr. Arnold (pakar Botani), singgah di Desa Pulau Lebar, Lubuk Tapi (Bengkulu Selatan). Di desa inilah Raffles menemukan bunga yang berukuran sangat besar dan indah. Penduduk setempat menamakan bunga ini Petimun Sikinlili Atau Sirih Hantu. Bunga tersebut kemudian diberi nama Rafflesia Arnoldy, diambil dari nama Raffles dan Dr. Arnold. Bunga Rafflesia Arnoldi saat ini sudah menjadi simbol Propinsi Bengkulu yang dikenal dengan nama “Bumi Rafflesia”. Bunga Rafflesia pada masa kini masih sering ditemukan di Kawasan Hutan Lindung Rejang Lebong dan Desa Talang Tais di Kecamatan Kaur Utara (Bengkulu Selatan).

Bengkulu, 28 Juni 2000.

(H. Musiardanis)

Disarikan dari :

1. Buku “Bengkulu dalam Sejarah”, oleh Firdaus Burhan (1988)
2. Buku “Bencoolen : A History of the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra (1685 - 1825), oleh Alan Harfield (1995).
3. Ensiklopedi Indonesia Buku 6 (1983).

Source:
http://musiardanis.multiply.com/reviews/item/5

0 comments:

Newer Post Older Post Home